Hasil Kopenhagen Tentukan Nasib Bumi
Pengaruhi Kehidupan Generasi-generasi Mendatang
29 Agustus 2009 | KOMPAS
Vienna, Jumat - Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Jumat (28/8),
menegaskan bahwa hasil pembicaraan di Kopenhagen, Denmark, akan memengaruhi
planet ini bergenerasi-generasi yang akan datang.
Untuk itu, dia mendesak dunia untuk mempersembahkan hari bagi isu perubahan
iklim menjelang konferensi akbar di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang.
Pada 7-18 Desember 2009 akan digelar Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15)
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Kopenhagen.
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan amat penting bagi kelangsungan
komitmen negara-negara di dunia menghadapi tantangan perubahan iklim. Pada
pertemuan itu akan diputuskan apakah akan ada rezim pengganti Protokol Kyoto
sebagai perwujudan komitmen global tersebut.
Menurut Ban, yang berbicara tentang hal ini di Kompleks PBB di Vienna,
Austria, dalam peringatan 30 tahun sebagai kantor pusat empat badan dunia.
Dia mengungkapkan, ancaman akibat emisi gas rumah kaca menegaskan bahwa
sekarang seluruh dunia sudah seharusnya melakukan aksi bersama.
Ban berencana mengunjungi kutub utara secepatnya. Dia berharap bisa mengirim
kabar penting bagi dunia internasional tentang pentingnya mengendalikan
polusi. Dia mengatakan, ”Masa depan manusia dan Planet Bumi menjadi
pertaruhan.”
Indonesia kecewa
Indonesia mengaku kecewa dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim saat
ini. Empat bulan menjelang COP-15, komitmen negara maju untuk mengurangi
emisi karbon mereka dalam jumlah besar (deeper cut) tidak jelas juga.
Sikap negara-negara anggota Annex-I, yang terdiri dari negara-negara maju
tersebut, berubah dibandingkan dengan apa yang mereka katakan saat COP-13 di
Bali pada Desember tahun 2007.
”Target penurunan emisi dan pendanaan bagi negara berkembang sampai sekarang
tidak jelas juga,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar,
Kamis (27/8) seusai konferensi pers mengenai sumber emisi Indonesia yang
terbesar.
Negara-negara maju yang diwajibkan menurunkan emisinya hingga 40 persen pada
tahun 2020 dari emisi tahun 1990 itu, disebut Rachmat, bersembunyi di balik
sikap Amerika Serikat. AS hingga sekarang belum menentukan sikap secara
resmi karena sedang menggodok undang-undang terkait perubahan iklim
(Security Act Bill). Undang-undang itu sekarang belum disetujui Kongres AS.
”Negara-negara maju mengulur-ulur waktu,” kata dia.
Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, AS yang belum meratifikasi
Protokol Kyoto secara politis telah menunjukkan sikap mau turut
berpartisipasi bersama-sama dengan negara lain dan siap memimpin.
Namun, Rachmat memberi perkecualian pada Inggris dan negara-negara di
kawasan Skandinavia, seperti Swedia, dan Norwegia. Terkait dengan negosiasi
iklim, sikap Indonesia jelas, yaitu meminta negara-negara Annex I melakukan
pengurangan emisi dalam jumlah besar dan memperjuangkan agar ada pendanaan
dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD).
Berdasarkan hitungan konsultan, pengurangan emisi Indonesia tahun 2030 bisa
mencapai 2,3 giga ton jika program dijalankan secara konsisten.(ISW/GSA)
dikutip dari http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/29/05320393/hasil.kopenhagen.tentukan.nasib.bumi
29 Agustus 2009 | KOMPAS
Vienna, Jumat - Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Jumat (28/8),
menegaskan bahwa hasil pembicaraan di Kopenhagen, Denmark, akan memengaruhi
planet ini bergenerasi-generasi yang akan datang.
Untuk itu, dia mendesak dunia untuk mempersembahkan hari bagi isu perubahan
iklim menjelang konferensi akbar di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang.
Pada 7-18 Desember 2009 akan digelar Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15)
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Kopenhagen.
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan amat penting bagi kelangsungan
komitmen negara-negara di dunia menghadapi tantangan perubahan iklim. Pada
pertemuan itu akan diputuskan apakah akan ada rezim pengganti Protokol Kyoto
sebagai perwujudan komitmen global tersebut.
Menurut Ban, yang berbicara tentang hal ini di Kompleks PBB di Vienna,
Austria, dalam peringatan 30 tahun sebagai kantor pusat empat badan dunia.
Dia mengungkapkan, ancaman akibat emisi gas rumah kaca menegaskan bahwa
sekarang seluruh dunia sudah seharusnya melakukan aksi bersama.
Ban berencana mengunjungi kutub utara secepatnya. Dia berharap bisa mengirim
kabar penting bagi dunia internasional tentang pentingnya mengendalikan
polusi. Dia mengatakan, ”Masa depan manusia dan Planet Bumi menjadi
pertaruhan.”
Indonesia kecewa
Indonesia mengaku kecewa dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim saat
ini. Empat bulan menjelang COP-15, komitmen negara maju untuk mengurangi
emisi karbon mereka dalam jumlah besar (deeper cut) tidak jelas juga.
Sikap negara-negara anggota Annex-I, yang terdiri dari negara-negara maju
tersebut, berubah dibandingkan dengan apa yang mereka katakan saat COP-13 di
Bali pada Desember tahun 2007.
”Target penurunan emisi dan pendanaan bagi negara berkembang sampai sekarang
tidak jelas juga,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar,
Kamis (27/8) seusai konferensi pers mengenai sumber emisi Indonesia yang
terbesar.
Negara-negara maju yang diwajibkan menurunkan emisinya hingga 40 persen pada
tahun 2020 dari emisi tahun 1990 itu, disebut Rachmat, bersembunyi di balik
sikap Amerika Serikat. AS hingga sekarang belum menentukan sikap secara
resmi karena sedang menggodok undang-undang terkait perubahan iklim
(Security Act Bill). Undang-undang itu sekarang belum disetujui Kongres AS.
”Negara-negara maju mengulur-ulur waktu,” kata dia.
Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, AS yang belum meratifikasi
Protokol Kyoto secara politis telah menunjukkan sikap mau turut
berpartisipasi bersama-sama dengan negara lain dan siap memimpin.
Namun, Rachmat memberi perkecualian pada Inggris dan negara-negara di
kawasan Skandinavia, seperti Swedia, dan Norwegia. Terkait dengan negosiasi
iklim, sikap Indonesia jelas, yaitu meminta negara-negara Annex I melakukan
pengurangan emisi dalam jumlah besar dan memperjuangkan agar ada pendanaan
dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD).
Berdasarkan hitungan konsultan, pengurangan emisi Indonesia tahun 2030 bisa
mencapai 2,3 giga ton jika program dijalankan secara konsisten.(ISW/GSA)
dikutip dari http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/29/05320393/hasil.kopenhagen.tentukan.nasib.bumi