Mama Aleta Sang Pejuang Hijau Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur
Mama Aleta, Pejuang Lingkungan Hidup Dan Penjaga Bumi
milik Indonesia yang melakukan aksi nyata melawan tirani terhadap para
perusak lingkungan hidup, kelestarian Bumi dimana beliau merasa, inilah
Bumi tempat tinggalnya dan setiap penghuninya wajib turut serta
menjaganya dari segala macam perusakan.
Bulan April 2013, merupakan bulan bersejarah bagi Aleta Baun. Pasalnya
di bulan ini Mama Aleta, begitu dia disapa, menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat.
Penghargaan ini diberikan oleh tokoh masyarakat dan dermawan, Richard N.
Goldman dan istri, Rhoda H. Goldman untuk mendukung orang - orang yang
berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman dan juga diberikan
kepada figur - figur yang mengilhami orang - orang biasa untuk mengambil
tindakan - tindakan luar biasa dalam melindungi alam di dunia ini.
Penghargaan ini sangat layak bagi Mama Aleta lantaran perjuangannya
mempertahankan lingkungan dari cengkraman tambang di Gunung Mutis, Molo,
Nusa Tenggara Timur ( NTT ). Gunung Mutis, memiliki keragaman hayati
tinggi. Ia merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor
Barat, yang memasok air minum dan air irigasi bagi penduduk di pulau
itu.
Tak hanya itu, masyarakat mencari makanan dan obat - obatan dari hutan,
dan menanam hasil bumi di tanah subur itu. Bahkan, pewarna alami tenunan
diperoleh dari tumbuh - tumbuhan alam ini. Hubungan spiritual warga dan
lingkungan begitu kuat. Tak heran, kala alam hendak diganggu, penolakan
muncul. Mama Aleta, tampil menjadi motor penggerak.
Di desanya, Mama Aleta dikenal gigih sebagai pejuang dan pembela hak - hak
asasi manusia. Lulusan SMA Kristen Timor Tengah Selatan ini mengaku
tertarik dengan dunia pemberdayaan masyarakat melalui kisah masa
kecilnya.
Lahir dari keluarga petani, anak ke - 6 dari 8 bersaudara ini mengaku
sejak kecil dekat dan menyatu dengan alam. Baginya, tanah kelahiran itu
memiliki keindahan yang membuat pihak lain terpesona. Belum lagi
tanahnya memiliki situs batu bersejarah serta mengandung pualam dan
marmer.
Dalam sebuah wawancara, Mama Aleta mengungkapkan motivasi terbesarnya
dalam menantang korporasi besar untuk melindungi lingkungan sekitar
tempat tinggalnya.
"Suku adat Molo memiliki hubungan rohani dengan
tanah dan yakin bahwa segala sesuatu itu saling berkaitan. Kami
bersemboyan bahwa ‘tanah merupakan daging, air merupakan darah, batu
merupakan tulang, hutan merupakan pembuluh darah dan rambut’. Kami
percaya bahwa bila kami sampai terpisah dari salah satu unsur alam
tersebut ini, atau jika salah satu dari unsur ini sampai rusak, kami
akan mati dan kehilangan jati diri kami. Sangatlah penting bagi kami
untuk melindungi tanah kami,”ungkapnya dalam wawancara itu.
Mama Aleta juga mengungkapkan aksi protesnya telah dia mulai para tahun
1999, tiga tahun setelah para perusahaan tambang marmer memulai
kegiatannya di wilayah Molo. Dan baru tujuh tahun kemudian dia berhasil
meyakinkan ratusan perempuan Molo untuk ikut mendukung aksi protesnya
yang pada akhirnya berhasil menyingkirkan para penambang dari daerah
tersebut.
Namun Mama Aleta menganggap tugasnya belum selesai. Untuk memastikan
lingkungan wilayah Molo dan komunitas masyarakat didalamnya mendapat
perlindungan dari undang - undang, masih banyak yang harus ia lakukan.
“Saya bekerja sama dengan suku adat Molo dan berbagai komunitas pribumi
lain di kawasan ini dalam memetakan wilayah kami. Tujuannya ialah untuk
memulihkan hak atas tanah kami dan memastikan bahwa tanah itu dilindungi
oleh undang - undang, serta melestarikan dan melakukan rehabilitasi di
area yang rusak,” lanjut Mama Aleta.
Bukan hanya itu, Mama Aleta juga masih berusaha melakukan pelestarian
daerah hulu wilayah Molo yang merupakan sumber air bagi seluruh pulau
Timor serta mengusahakan hak tanah bersama yang akan dikelola oleh
komunitas masyarakat setempat. Mama Aleta berjuang utuk apa yang
diyakininya dan banyak menginspirasi sesama tidak dengan wacana
muluk - muluk, melainkan dengan melakukan apa yang ia bisa.
Perjuangan Mama Aleta demi mempertahankan kelestarian wilayahnya semakin
berat manakala dia harus berhadapan dengan pemerintah setempat yang
menuduhnya telah menyerobot hutan. Aparat pun memasang pengumuman untuk
menangkap dan membunuh Mama Aleta.
Sukses Usir Investor
Pada 2001, perjuangan Mama Aleta dan masyarakat Molo membuahkan hasil
manis. Mereka sukses mengusir investor tambang marmer dari wilayah Molo
meskipun Gunung Anjaf dan Gunung Nausus yang menjadi tulang punggung
masyarakat Molo terbelah karena ledakan dinamit. Keberhasilan Aleta
terulang dua tahun kemudian. Perempuan yang pernah mendapat nominasi Women’s Nobel Prize for Peace itu berhasil merebut tanah adat seluas 6 ribu hektare.
Pada 2006 sampai 2008, Aleta dan masyarakat Molo
serta dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Wahana
Lingkungan Hidup ( Walhi ) dan Jaringan Advokasi Tambang ( Jatam ), berhasil
menyelamatkan Gunung Batu Fadli setelah berjuang selama 1,5 tahun.
Setelah tahun 2008, Aleta pun dapat bernapas lega sebab dia tidak lagi
dikejar - kejar masyarakat yang kontra dengan berbagai aksinya itu.
Masyarakat lokal banyak yang mendukung aktivitasnya mengingat
pertambangan dapat merusak sumber pangan.
Selama ini, masyarakat Molo memang terbiasa hidup bersahabat dengan
alam. Mereka memperlakukan alam seperti anggota tubuh mereka sendiri.
Batu diibaratkan tulang punggung, hutan adalah rambut, dan air ibarat
darah. Oleh karena itu, mereka pantang merusak alam yang telah
memberikan kehidupan.
Sebelum terjadi kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan, Molo
merupakan wilayah yang kaya dengan hasil perkebunan. Masyarakat Molo
banyak yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam kopi dan jeruk.
Bahkan, Molo pernah pula dikenal sebagai kota apel sebelum adanya
serangan hama wereng. Sayangnya, saat ini Molo telah berubah menjadi
daerah yang rawan longsor, rawan pangan, kekeringan, dan hujan
berlebihan.
Kerusakan lingkungan tersebut selain menghilangkan sumber pangan juga
menjadi pemicu utama hilangnya budaya daerah. Sebagai contoh, selama ini
dalam pandangan masyarakat Molo, batu merupakan kekayaan yang memiliki
nilai budaya tinggi. Pasalnya, mereka menamakan marga penduduk dari
nama - nama batu, seperti baxun. Namun, dengan adanya penambangan,
batu - batu yang ada di pegunungan pun menjadi hilang yang artinya tidak
ada lagi nama-nama marga warga Molo.
Meskipun ancaman demi ancaman terus diterima, Mama Aleta mengaku tidak
gentar menghadapinya. Tekadnya telah bulat untuk menyelamatkan tanah
kelahirannya. “Kampung kami sangat indah. Kami memiliki bukit, pohon
ekaliptus, batu marmer, hutan, dan padang yang luas untuk menggembalakan
hewan ternak,” tandasnya.
Perjuangan Mama Aleta pun tampaknya masih harus terus berlangsung. Di
satu sisi, ia tak memungkiri, terkadang ia merasa lelah terus-menerus
berupaya mempertahankan kelestarian alam wilayahnya. Namun, rasa
lelahnya itu segera terkalahkan dengan tekadnya untuk tidak memberi
ruang kepada orang lain yang ingin menguasai kampung halamannya.
Mama Aleta, perempuan yang pernah memperoleh penghargaan Saparinah
Sadli, tidak ingin hanya terpaku pada pekerjaan rumah tangga. Tak heran
jika dia dikenal sebagai salah satu pegiat lingkungan hidup yang sering
melakukan advokasi ke berbagai tempat. Meskipun aktivitasnya di luar
rumah cukup padat, Aleta tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai
seorang istri dan ibu. Bahkan, pelbagai aktivitas yang dilakukannya
merupakan upaya untuk turut mencukupi kebutuhan pangan keluarga.
“Perempuan tidak hanya dapat melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, tetapi juga harus gencar memerangi kerusakan alam yang dapat menghilangkan sumber pangan. Jika tidak ada hutan, mereka tidak mempunyai kayu sebagai sumber bahan bakar. Jika tidak ada air, mereka juga tidak dapat memasak,” kata Mama Aleta.
Berdasarkan prinsip itu pula ia tidak pernah surut semangatnya dalam menjaga lingkungan alam. Tidak hanya itu, ia juga berprinsip kekayaan
daerah tidak boleh direbut oleh orang lain. “Kalau saya tidak
mempertahankan, kampung akan hilang,” tandasnya.
Di bulan April 2013, kegigihan Mama Aleta yang keras bagai baja dalam
melindungi lingkungan Molo mendapatkan pengakuan internasional melalui
penghargaan Hadiah Lingkungan Hidup Goldman 2013.
Selain Mama Aleta, masih ada lima pemenang lain yang berasal dari
Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kolombia, Irak dan Italia yang berjasa
dalam berbagai usaha pelestarian lingkungan dari tingkat akar rumput. Viva Mama Aleta!
BIODATA
Nama : Aleta Baun
Tempat / Tanggal lahir : Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, 16 April 1963
Pekerjaan : Aktivis Perempuan dan Lingkungan Hidup
Pendidikan : SMA
Nama suami : Listhus Sanam
Nama anak : Maria ( 13 tahun ), Yordan ( 10 tahun ), AI Nina ( 5 tahun )
Penghargaan : Saparinah Sadli ( 2006 )
Tempat / Tanggal lahir : Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, 16 April 1963
Pekerjaan : Aktivis Perempuan dan Lingkungan Hidup
Pendidikan : SMA
Nama suami : Listhus Sanam
Nama anak : Maria ( 13 tahun ), Yordan ( 10 tahun ), AI Nina ( 5 tahun )
Penghargaan : Saparinah Sadli ( 2006 )
- Belantara Indonesia