Menanam Pohon, Menyelamatkan Paru-Paru Dunia yang Rusak
Keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan kerusakan hutan dan pemanasan global ditandai dengan dicanangkannya Hari Menanam Pohon 28 November 2008 lalu dan Bulan Menanam Nasional selama bulan Desember 2008.
Upaya ini boleh dikatakan sebagai salah satu gerakan untuk menyelamatkan paru-paru dunia yang rusak dari pembalakan liar dan penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan.
Menurut Ketua Umum Sahabat Center Sumut, Brilian Moktar, SE, gerakan tersebut juga harus dibarengi dengan ketegasan para pejabat pemerintah dari pusat sampai ke desa untuk memerangi para pembalak hutan. Selama ini, terkesan hanya petani miskin yang dituding sebagai perusak hutan, tetapi para otak dari pembalak liar termasuk industri pulp yang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar justru bebas berkeliaran. Sinisme itu tak perlu ditanggapi dengan emosi, tetapi dimaknai sebagai suatu pesan agar mawas diri. Yang jelas, lanjutnya kondisi hutan kita sudah parah. Indonesia memiliki luas hutan 120 juta hektare. Data dari Departemen Kehutanan mengungkapkan, kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektare per tahun. Hingga kini kerusakan telah menembus angka 59 juta hektare. “Dalam menyelamatkan hutan itu, tentu saja aparat kita harus memburu para pelaku pembalak liar dan memberi mereka sanksi sebesar-besarnya, bukan membebaskannya dari perkara. Namun itu saja tidak cukup. Pada saat yang sama kita juga mulai menanam pohon untuk menutup hutan yang mulai gundul,” tegas Brilian Moktar. Dulu nenek moyang kita berpendapat, selalu ada yang menjaga pohon atau hutan. Daripada mendapatkan sakit atau bahaya, masyarakat tidak berani menebang pohon sembarangan. Itulah kearifan budaya nenek moyang kita. Modernisme telah mengusir roh-roh yang telah menjaga hutan dan pohon selama beribu-ribu tahun. Belum lagi, hal itu dianggap sebagai percaya sia-sia. Banjir dan longsor yang terjadi di negeri kita mungkin tidak akan memberi dampak mengerikan seperti sekarang bila lingkungan kita, khususnya hutan dan pohon tidak rusak. Banjir akibat gelombang pasang laut di Jakarta tidak akan separah sekarang kalau kita tidak meremehkan peran pohon bakau yang sebelumnya tumbuh subur di sepanjang pantai dan muara sungai di pantai Jakarta. Reklamasi pantai yang dahsyat untuk membangun kota pantai telah melenyapkan hutan bakau dan rawa-rawa. Ketika gelombang datang, tidak ada lagi bakau dan rawa-rawa yang mampu meredam gelombang dan menangkap air laut pasang. Tentu kita tidak perlu lagi mencari kambing hitam yang bernama pemanasan global sebagai biangnya. Perspektif Ekologis Kita menghadapi ancaman inflasi dan pengangguran, kita mengalami krisis energi, krisis dalam bidang kesehatan, masalah polusi dan bencana alam lain, makin meningkatnya gelombang kekerasan dan kriminalitas, dan sebagainya. Apa sebetulnya yang terjadi? Ini adalah krisis persepsi. Kita yang hidup saat ini berada dalam satu dunia yang saling bergantung terhadap satu sama lain. Hal ini bisa kita pahami kalau kita memandang semua itu dengan perspektif ekologis. Yang kita perlukan saat ini adalah suatu paradigma baru, yaitu visi baru tentang realitas: perubahan yang mendasar dalam pikiran, persepsi, tata nilai kita. Langkah awal adalah perubahan dari cara berpikir mekanistik yang mendominasi dunia selama ini ke pandangan holistik tentang realitas. Gerakan menanam pohon yang dicanangkan SBY adalah upaya merawat bumi, merawat kehidupan kita sendiri. Bumi bagi kita adalah ibu, sumber kehidupan bagi semua makhluk. Bumi itu hidup (live) sebagai suatu living organism. Kesadaran baru tentang bumi itu sebenarnya sudah ada pada masyarakat tradisional/lama, namun masyarakat modern baru menyadarinya sekarang. Sumber Oksigen Lantas, tugas manusia adalah merawat bumi. Maksud manusia menguasai bumi adalah agar alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dan anak cucunya. Alam bukan untuk memenuhi kerakusan manusia. Penguasaan atas alam terkait dengan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penguasaan atas alam dibatasi oleh tujuan penguasaan itu sendiri, yakni demi kesejahteraan bersama. “Gerakan menanam pohon yang dilakukan sekarang tidak hanya untuk menciptakan lingkungan hidup yang makin baik, tetapi juga adalah suatu seruan agar kita belajar mencintai alam, hutan, dan pohon. Dalam hening dan damai, pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang amat dibutuhkan banyak makhluk. Pohon juga sebagai penyimpan air, penyerap gas polutan, peredam kebisingan, peredam angin, dan peneduh kota serta paru-paru dunia, jelas Brilian Moktar.
Konferensi perubahan iklim yang berlangsung di Bali beberapa waktu lalu memberikan pesan kuat kepada kita, ekosistem global, termasuk Indonesia, dan kelangsungan hidup di muka bumi sedang terancam secara serius. Kenapa bisa terjadi begitu? Selama ini manusia modern melihat dunia seperti sebuah mesin, suatu konsep berpikir yang telah diletakkan oleh Rene Descartes dan Isaac Newton. Dalam pemikiran itu, manusia dilihat bukan bagian dari alam. Pemikiran itu justru mendorong manusia untuk mengeksploitir alam.
Jika melihat kondisi hutan kita sekarang, kata Brilian yang juga pengurus Apindo Sumut sudah sangat mengkhawatirkan. Gerakan menanam dan memelihara sepuluh juta pohon setara dengan menghutankan kembali 26.000 hektare lahan. Hutan seluas itu dapat menyerap gas karbon sebanyak 200 ton per harinya. Sebenarnya, Sahabat Center sendiri telah melakukan upaya-upaya penyelamatan hutan sejak jauh-jauh hari dengan memberikan bibit tanaman ke masyarakat untuk di tanam.