Header Ads

Selamatkan Hutan Lahan Basah

Oleh Nelly Gustina

Setiap 2 Februari sebenarnya negara-negara di dunia termasuk Indonesia memperingati Hari Lahan Basah Sedunia.

Kita diingatkan, betapa pentingnya lahan basah bagi lingkungan dan kehidupan. Jika ini diabaikan maka akibatnya sudah dapat diduga, banjir akan melanda terutama di kawasan yang lebih rendah. Banjir akan makin sering, makin besar, dan makinmembahayakan. Lahan basah atau “Wetlands” merupakan suatu bentuk ekosistem yang unik yang berbeda dengan daratan dan lautan. Bentuk utama yang sering.

dijumpai pada lahan basah berupa lahan gambut, rawa, hutan mangrove, lahan basah pertanian dan persawahan, danau dan situ, dengan fungsi sebagai tataair dan ekosistem. Lahan basah di Indonesia paling banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua).

Akibat perubahan fungsi lahan basah yang didorong kepentingan ekonomi jangka pendek, 10 tahun terakhir sejak 1994, telah terjadi pengurangan sejumlah 10 juta hektar lahan basah dari yang sebelumnya mencapai 40,5 juta hektar.

Untuk mencegah meluasnya kerusakan hutan lahan basah tersebut, diperlukan peran pemerintah daerah. Kemudian, komitmen kuat dari masing-masing pemerintah daerah menjadi hal penting dalam upaya penyelamatan lahan basah di Indonesia.

Akibat desentralisasi, peran daerah menjadi lebih kuat dan berdampak positif karena upaya pengawasan dapat dilakukan secara lebih intensif. Karena terbagi menjadi daerah kecil-kecil memungkinkan hal tersebut untuk dilakukan.

Perlu diketahui, lahan basah di Indonesia mengalami berbagai tekanan menuju kehancuran dan deforestasi secara drastis. Laju degradasi hutan mencapai 2 juta hektar per tahun.Konversi hutan, illegal logging, dan kebakaran hutan merupakan ancaman utama lahan basah di Indonesia. Konversi hutan dalam skala besar, terutama dilakukan untuk perkebunan monokulter, terutama sawit, HTI, pertambangan, dan pertambakan udang.

Kebakaran hutan menjadi isu nasional setiap tahun sejak 1996. Musim kemarau dan pembukaan ladang berpindah dituduhkan sebagai penyebab kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang merupakan kombinasi faktor kelalaian dan kekeringan terjadi di kawasan gambut. Bekas lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan, yang kini berubah menjadi kering kerontang di musim kemarau, menjadi langganan kebakaran hutan tiap tahunnya.

Lahan basah memiliki peranan yang penting dalam menyumbang keragaman hayati, pengatur iklim dunia, sumber pangan, sumber sirkulasi air, sumber perikanan, dan obat-obatan bagi masyarakat setempat. Masyarakat lokal memiliki tingkat ketergantungan kehidupan yang cukup besar pada ekosistem lahan basah.

Waktu Singkat
Di beberapa tempat, terdapat kearifan lokal dan sistem pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Namun demikian, tidak semua masyarakat yang hidup bergantung pada ekosistem lahan basah memiliki pengaturan dan kepedulian terhadap keberlanjutan ekosistem lahan basah. Pola pemanfaatan yang bersifat merusak dan eksploitatif berlangsung, baik oleh masyarakat setempat maupun pendatang, tanpa ada upaya pencegahan.

Alih fungsi lahan basah (konversi) berlangsung begitu saja dalam waktu singkat. Dibandingkan ekosistem hutan daratan tinggi, rasa kepemilikan terhadap lahan basah oleh masyarakat setempat tidak begitu kuat. Interaksi budaya dan konsep religi masyarakat terhadap hutan dataran tinggi lebih kuat dibandingkan terhadap ekosistem lahan basah. Pada sejumlah lahan basah, tidak ditemukan pararaksonomi, organisasi tani maupun kelembagaan sosial yang terkait dengan lahan basah.

Ekosistem lahan basah dipandang sebagai tanpa pemilik, belum tergarap dan terlantar. Pandangan ini hampir sejalan dengan Pemerintah yang menganggap lahan basah sebagai lahan potensial untuk kepentingan produksi, melalui alih fungsi. Ditinjau dari regulasi yang ada, pengaturan pada ekosistem lahan basah masih sangat minim. Namun demikian, pandangan, ikatan batin, dan faktor pendorong konservasi maupun eksploitasi oleh masyarakat atas lahan basah di suatu tempat bersifat khas dan site specifik.

Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Satu Juta Hektar merepresikan pandangan tersebut dan merupakan bencana lingkungan terbesar di Indonesia. Ini dilakukan untuk mengantisipasi krisis swasembada beras, dengan pertimbangan bahwa di Jawa luasan areal pertanian sawah teknis semakin tahun semakin berkurang. Ditunjuknya Kalimantan Tengah karena hanya satu-satunya Propinsi yang mempunyai hamparan seluas satu juta hektar. Kebijakan ini merubah sistem tata air, keadaan iklim mikro, dan penguasaan tanah.

Kebijakan ini telah menimbulkan dampak lingkungan negatif, baik secara fisik, kimia, biologi, dan sosial-ekonomi pada masyarakat di lokasi proyek. Proyek ini telah menyebabkan degradasi kualitas lingkungan hidup dengan mengkonversi hutan tropis seluas 638.000 ha menjadi persawahan dan 362 ribu hektar menjadi areal pertanian, perumahan, dan kawasan konservasi.

Otonomi
Pengalihan fungsi lahan basah diiringi dengan konflik sosial antara masyarakat dengan investor, dan pemerintah maupun antar kelompok masyarakat (konflik horizontal), perpindahan aliran sumberdaya (manfaat).

Seperti disampaikan di atas, lebijakan desentralisasi (Otonomi Daerah) di terapkan di Indonesia sejak 1999. Desentralisasi meliputi bebagai aspek pemerintahaan, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan konservasi. Ternyata, desentralisasi menimbulkan persoalan baru dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wewenang di konservasi. Desentralisasi bagaikan hanya mengalihkan eksploitasi yang otoriter dan sentralistik di Jakarta menjadi wewenang tanpa kendali oleh raja-raja kecil baru, yakni Kepala Pemerintahan Daerah. Sejumlah daerah kini berlomba-lomba mengejar PAD dengan semangat eksploitasi yang sama seperti sebelumnya.

Kawasan konservasi berada dalam ancaman ataupun peluang serius di bawah era desentralisasi tergantung komitmen Pemerintah. Peluang adanya perbaikan dalam pengelolaan lahan basah menjadi lebih terbuka karena adanya desentralisasi. Seperti apa wajah pengaturan lahan basah pada era desentralisasi saat ini merupakan subyek yang perlu dicermati.

Dengan semakin tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah yang disebabkan oleh kerusakan hutan alam, maka konversi hutan alam skala besar menjadi perkebunan kelapa sawit sudah saatnya untuk dicermati.

Memperhatikan dampak lingkungan konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit, kemudian memperhatikan banyaknya kasus penebangan hutan alam dengan kedok pembukaan kebun kelapa sawit, sudah saatnya pemerintah daerah perlu ekstra hati-hati dalam menerbitkan ijin konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit.

Upaya untuk menyelamatkan hutan lahan basah yang masih tersisa dan menghentikan degradasi hutan yang telah menyebabkan puluhan juta hektar lahan kritis, paradigma pembangunan kehutanan dan pandangan masyarakat terhadap hutan itu sendiri harus berubah. Hutan semestinya tidak lagi dipandang sebagai sumber pendapatan ekonomi, melainkan sebagai sumber daya yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap sumber produksi lainnya dan lingkungan.

Selain itu, upaya reboisasi atau penghijauan secara alamiah sangat sesuai untuk rehabilitasi hutan lindung, hutan lahan basah dan taman nasional. Vegetasi yang tumbuh terdiri atas bermacam-macam jenis sesuai dengan kondisi tanah dan iklim daerah masing-masing. Dengan cara itu, keragaman hayati yang selama ini hampir punah secara perlahan bisa hidup dan keberlanjutan ekosistem lahan basah kian terjamin.

Diberdayakan oleh Blogger.