Karbon Kredit Hutan Aceh Mulai Ditawar
TuguLangsa - Sejumlah lembaga internasional dilaporkan mulai mengajukan penawaran membeli karbon kredit dari hutan di Aceh. Tawaran itu sebagai kompensasi pengurangan emisi karbon dioksida yang menyebabkan pemanasan global. "Banyak lembaga internasional yang mengajukan penawaran membeli karbon kredit dari hutan Aceh. Ini merupakan tanda keberhasilan kita dalam menjaga hutan," kata Gubernur NAD Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Jumat (6/6).
Pernyataan Irwandi Yusuf itu disampaikan dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Sekda Provinsi NAD Husni Bahri TOB saat membuka seminar Green Aceh Spirit (GAS) yang diikuti dari berbagai instansi di Aceh.
Dikatakannya, mekanisme perdagangan karbon yang sedang dibicarakan saat ini merupakan ruang bagi masyarakat Aceh untuk memperoleh manfaat dari pelestarian hutan Aceh.
"Penelitian ilmiah membuktikan bahwa hutan-hutan tropis seperti yang dimiliki Aceh memiliki potensi untuk menyerap gas karbon dioksida yang dihasilkan industri dunia," kata Husni.
Aceh yang memiliki areal tutupan hutan seluas tiga juta hektare, merupakan wilayah terluas di Pulau Sumatera dan akan menjadi salah satu kontribusi terbesar penyerap karbon di dunia. "Semakin serius kita menjaga kelestarian hutan, dana karbon yang kita dapat akan semakin banyak pula.
"Ini salah satu keberhasilan Aceh dalam menerapkan program pelestarian hutan melalui Aceh Green Vision meskipun saat ini belum dapat kita rasakan," sebut dia.
Isu global warning (pemanasan global) telah menghantui masyarakat dunia, berkat pertemuan internasional tentang perubahan iklim di Bali pada 3-14 Desember 2007 secara global telah menyadarkan masyarakat dunia untuk mengurangi laju kerusakan hutan.
Aceh sebagai bagian dari masyarakat dunia, memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam mengurangi emisi karbon dengan tetap menjaga dan melestarikan hutan Aceh.
Salah satu implementasi yang dilakukan Pemerintah Aceh adalah menerapkan pembangunan berkelanjutan melalui konsep Aceh Green Vision yang bermakna pembangunan Aceh ke depan tidak merusak lingkungan.
Di samping itu, Pemerintah juga melakukan rehabilitasi hutan yang telah rusak, mereduksi kerusakan hutan melalui jeda tebang dan menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, ujarnya.
Terkait moratorium logging (jeda tebang hutan) yang dideklarasikan pada 6 Juni 2007, Pemerintah Aceh perlu waktu menyusun strategi pengelolaan hutan yang dapat memastikan kelestarian dan penting bagi kehidupan masyarakat.
Jeda tebang terutama ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki izin konsesi pengelolaan hutan yang telah memberikan kontribusi terbesar terhadap kerusakan hutan di Aceh.
Karena segala kegiatan terkait penebangan hutan dihentikan, kebutuhan kayu diharapkan dapat dipenuhi melalui produksi kayu rakyat dan tanah milik serta material alternatif lain.
"Jeda merupakan ujian bagi pemegang konsesi untuk membuktikan komitmennya merehabilitasi hutan setelah sekian lama mengeksploitasi dan implementasi dari komitmen masyarakat Aceh seperti terdapat dalam kesepakatan (MoU) Helsinki," tambahnya.
Dia menjelaskan, kebijakan moratorium logging bukan bermaksud untuk mempersulit rakyat memperoleh kayu sebagai material bangunan tetapi justru untuk melindungi generasi muda.
"Kita tahu Aceh kerap mengalami bencana alam akibat penebangan hutan. Bencana banjir kerap melanda tiga hingga empat kali dalam setahun, ini antara lain disebabkan kebijakan masa lalu yang tidak peduli dengan kelestarian hutan," ujarnya.
Meski saat ini masyarakat belum dapat menikmati manfaat potensial dari keberadaan hutan Aceh tetapi dengan terjaganya kualitas lingkungan salah satunya manfaat dari air yang dihasilkan dari hutan bisa dirasakan, kata Husni Bahri TOB. Wikimu
Dikatakannya, mekanisme perdagangan karbon yang sedang dibicarakan saat ini merupakan ruang bagi masyarakat Aceh untuk memperoleh manfaat dari pelestarian hutan Aceh.
"Penelitian ilmiah membuktikan bahwa hutan-hutan tropis seperti yang dimiliki Aceh memiliki potensi untuk menyerap gas karbon dioksida yang dihasilkan industri dunia," kata Husni.
Aceh yang memiliki areal tutupan hutan seluas tiga juta hektare, merupakan wilayah terluas di Pulau Sumatera dan akan menjadi salah satu kontribusi terbesar penyerap karbon di dunia. "Semakin serius kita menjaga kelestarian hutan, dana karbon yang kita dapat akan semakin banyak pula.
"Ini salah satu keberhasilan Aceh dalam menerapkan program pelestarian hutan melalui Aceh Green Vision meskipun saat ini belum dapat kita rasakan," sebut dia.
Isu global warning (pemanasan global) telah menghantui masyarakat dunia, berkat pertemuan internasional tentang perubahan iklim di Bali pada 3-14 Desember 2007 secara global telah menyadarkan masyarakat dunia untuk mengurangi laju kerusakan hutan.
Aceh sebagai bagian dari masyarakat dunia, memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi dalam mengurangi emisi karbon dengan tetap menjaga dan melestarikan hutan Aceh.
Salah satu implementasi yang dilakukan Pemerintah Aceh adalah menerapkan pembangunan berkelanjutan melalui konsep Aceh Green Vision yang bermakna pembangunan Aceh ke depan tidak merusak lingkungan.
Di samping itu, Pemerintah juga melakukan rehabilitasi hutan yang telah rusak, mereduksi kerusakan hutan melalui jeda tebang dan menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, ujarnya.
Terkait moratorium logging (jeda tebang hutan) yang dideklarasikan pada 6 Juni 2007, Pemerintah Aceh perlu waktu menyusun strategi pengelolaan hutan yang dapat memastikan kelestarian dan penting bagi kehidupan masyarakat.
Jeda tebang terutama ditujukan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki izin konsesi pengelolaan hutan yang telah memberikan kontribusi terbesar terhadap kerusakan hutan di Aceh.
Karena segala kegiatan terkait penebangan hutan dihentikan, kebutuhan kayu diharapkan dapat dipenuhi melalui produksi kayu rakyat dan tanah milik serta material alternatif lain.
"Jeda merupakan ujian bagi pemegang konsesi untuk membuktikan komitmennya merehabilitasi hutan setelah sekian lama mengeksploitasi dan implementasi dari komitmen masyarakat Aceh seperti terdapat dalam kesepakatan (MoU) Helsinki," tambahnya.
Dia menjelaskan, kebijakan moratorium logging bukan bermaksud untuk mempersulit rakyat memperoleh kayu sebagai material bangunan tetapi justru untuk melindungi generasi muda.
"Kita tahu Aceh kerap mengalami bencana alam akibat penebangan hutan. Bencana banjir kerap melanda tiga hingga empat kali dalam setahun, ini antara lain disebabkan kebijakan masa lalu yang tidak peduli dengan kelestarian hutan," ujarnya.
Meski saat ini masyarakat belum dapat menikmati manfaat potensial dari keberadaan hutan Aceh tetapi dengan terjaganya kualitas lingkungan salah satunya manfaat dari air yang dihasilkan dari hutan bisa dirasakan, kata Husni Bahri TOB. Wikimu