Aceh Dagang Karbon Untuk Siapa
"Tanah subur, tapi anak-anak kami kurus dan tidak sekolah. Rakyat lapar karena hak-hak mereka dirampas."
Suara lantang salah seorang aktivis lingkungan di Banda Aceh itu makin menambah riuh pertemuan "Governors Climate and Forest (GCF) Taskforce Meeting" di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh.
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Mukim itu mengecam pertemuan GFC yang dinilai tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan.
Mukim adalah salah satu lembaga adat di Provinsi Aceh yang membawahi beberapa Gampong (desa). Setiap mukim dipimpin seorang pemangku adat yang diberinama Kepala Mukim.
Di dalam ruangan Hermes Palace Hotel nan nyaman, beberapa gubernur dan kepala negara bagian dari sejumlah negara sedang memang tengah melakukan pembicaraan proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD)
Namun, aktivis lingkungan di Aceh menilai implementasi proyek REDD telah membuat masyarakat sekitar hutan tercerabut hak dan kedaulatannya atas hutan mereka.
"REDD merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mempertahankan hak masyarakat atas hutan mereka," ujarnya.
Proyek REDD, menurut aktivis akan berdampak semakin merananya masyarakat di pinggir hutan. Bahkan mereka menuntut pembahasan dan proses membangun legitimasi "politik" dagang REDD dihentikan.
Mereka minta pemerintah mengembalikan kedaulatan mukim wilayah dan sumber daya alam (SDA) kepada masyarakat yang selama ini berada di sekitar hutan.
Para mahasiswa juga minta kejelasan tata batas wilayah, tata ruang, pengakuan hak masyarakat atas tanah, pengakuan mukim atas SDA dan harta mukim lainnya.
Menurut mereka, berbagai persoalan sekitar hutan diharapkan dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan di tingkat mukim di wilayah tersebut.
GCF Taskforce Meeting-3 berlangsung pada 18-22 Mei 2010, diikuti sepuluh delegasi anggota tetap dari luar negeri dan Indonesia.
Anggota GCF antara lain dari Indonesia (Provinsi Aceh, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua Barat). Kemudian, Brazil (Mato Grosso, Amazonias, Para, Amappa, dan Acre), dan Amerika Serikat (Illinois, Wisconsin, and California).
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengajak para peserta pertemuan untuk menghasilkan rumusan bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar hutan.
"Kami berharap pertemuan GCF Taksforce Meeting 2010 yang ketiga ini dapat menghasilkan keputusan signifikan untuk mempercepat realisasi konsep REDD yang dapat diimplementasikan di lapangan," katanya. Jangan sampai setelah pertemuan selesai tidak memberikan apa-apa bagi masyarakat dan daerah.
Pertemuan GCF 2010 dimaksudkan untuk merumuskan standar dan kriteria pengurangan perubahan iklim, pemanasan global, dan mencegah kerusakan hutan.
Upaya pelestarian hutan diharapkan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal terhadap hutan di sekitar mereka.
"Dalam rangka melindungi hutan, perwujudan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan dari pertemuan ini untuk merumuskan standar dan kriteria terhadap upaya pelestarian hutan tanpa mengabaikan hak masyarakat lokal," kata Irwandi Yusuf.
Perlu Sekber
Pemerintah Aceh perlu membentuk sekretariat bersama (sekber) dalam pengelolaan kawasan hutan yang dinilai masih luas dimiliki provinsi itu, kata pakar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), DR Ir Ricky Avenzora.
"Pembentukan sekber itu penting, sehingga masing-masing instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak jalan sendiri-sendiri dalam mengimplementasikan gagasan dan kegiatannya," katanya.
Menurut dia, potensi kawasan hutan yang masih dimiliki Aceh itu menjadi modal besar dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global dimasa mendatang.
Karena itu, menurut dia, yang perlu diperhatikan Pemerintah Aceh adalah kontinuitas pengelolaan kawasan hutan, skala kegiatan, peningkatan manajemen dan komitmen keterlibatan masyarakat dalam setiap program.
"Kesemuanya itu akan bisa berjalan dengan baik dan terukur melalui pembetukan sekber, karena program lingkungan selama ini hampir semua instansi (sektor) berbicara dan itu berjalan sendiri-sendiri," katanya menambahkan.
Selain itu, katanya dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya yang ada di masing-masing instansi, maka program pelestarian kawasan hutan bisa berjalan tidak optimal.
Melalui sekber itu sebagai upaya bersama-sama dalam bentuk kompromistis dan juga proses pembagian tugas dalam pelestarian kawasan hutan yang bisa dilakukan pemerintah, elemen masyarakat dan LSM.
"Tak kalah penting juga adalah semua pihak agar membangun komuniksi untuk membuat "master plan" dan pembagian tugas, selain menjaga agar keterlibatan masyarakat tidak hilang dalam upaya pelestarian kawasan hutan," tambah dosen Fakultas Kehutanan IPB.
Ricky Avenzora mengingatkan Pemerintah Aceh tidak terbuai dengan janji-janji pihak asing terkait dengan perdagangan karbon.
"Artinya, pemerintah sudah memiliki semangat tinggi untuk menjadikan kawasan hutan sebagai penghasil industri karbon. Tapi, juga tidak terbuai dengan janji-janji dari pihak asing," katanya.
Pemerintah Aceh juga diminta melibatkan dan memberi wewenang kepada Mukim untuk menjaga kawasan hutan, terutama sekitar hutan lindung yang ada di provinsi tersebut.
Ketua Serikat Mukim Aceh Jaya, Anwar Muhammad, mengatakan, pelibatan masyarakat sekitar hutan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian lingkungan hutan di provinsi itu.
Masyarakat seharusnya juga diberi hak pengelolaan hutan adat yang berada di luar hutan lindung. Masalah teknis seperti berapa luas wilayah hutannya dapat didiskusikan bersama, tambah dia.
Anwar mengatakan, hak pengelolaan hutan itu harus dimasukkan dalam aturan tataruang dan mendapat pengakuan pemerintah, sehingga ada legitimasi yang jelas bagi masyarakat.
Selain itu, pemerintah Mukim juga harus diberi hak dan kewenangan dalam menjaga hutan sekitar tempat tinggalnya serta menegakkan hukum adat kawasan hutan.
"Kami sepakat memperjuangkan hutan menjadi hak masyarakat adat karena itu merupakan warisan yang kita jaga dan lestarikan bersama untuk anak cucu di masa mendatang," ujarnya.
Staf Flora Fauna International (FFI), Saifuddin menyatakan terus mendorong pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan di provinsi tersebut.
"Kemukiman sebagai lembaga masyarakat dan hukum adat punya hak mengelola hutan. Tapi yang diperlukan adalah memperjuangkan hutan rakyat dan hak-hak masyarakat sekitar hutan," katanya.
Hutan Kalbar
Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cornelis minta peran masyarakat dunia untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan hutan di wilayahnya.
"Jika ingin emisi karbon diselamatkan secara total maka perlu peran masyarakat dunia untuk menyelamatkan hutan di wilayah kami," katanya.
Cornelis menyebutkan hutan Kalbar yang rusak kini mencapai 130.398 hektare. Jika tak segera diselamatkan maka hutan Kalbar diperkirakan habis pada 2050.
"Di wilayah kami, sekitar 50 persen dari lokasi hutan tersebut ditempati oleh para penduduk," katanya.
Kalimantan Timur (Kaltim) diharapkan siap masuk dalam proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD) pada 2015.
"Tahun 2015 Kaltim diharapkan telah siap dalam proyek REDD, sehingga kawasan hutan di daerah kami tidak hanya berfungsi ekonomi tetapi juga ekologi," kata staf ahli Gubernur Kaltim, Dody Ruhyat.
Ia menjelaskan kebakaran hutan menjadi momok dalam upaya pelestarian lingkungan di wilayahnya, meski kasus tersebut mulai berkurang di Kaltim.
Sebagai upaya menjaga hutan dan persiapan menghadapi proyek REDD, ia menyebutkan pemerintah telah meluncurkan program "Kaltim Hijau". Kaltim memiliki hutan seluas sekitar 19 juta hektare, dan 1,3 juta hektare di antaranya mengalami kritis dan perlu ditangani segara.
"Sepanjang 2003-2010, laju deforestasi di Kaltim mencapai 200 ribu pertahun. Menjual karbon dalam program REDD, Pemerintah Kaltim perlu perjuangan tinggi dalam mengajak masyarakat ikut menjaga hutannya," katanya.
Sementara itu, staf ahli bagian lingkungan Gubernur Kalbar, Josep Lejo mengatakan ada beberapa tantangan dalam menjaga lingkungan di wilayahnya, antara lain pembukaan lahan perkebunan termasuk salah satu aspek deforestasi hutan.
Masalah kebakaran hutan, pembalakan liar dan beberapa aspek lainnya. Menjaga lingkungan untuk menunggu realisasi proyek REDD, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan seperti mengajak masyarakat menjaga hutan di wilayahnya.
"GCF ini adalah bagian dari komitmen kita dalam menjaga lingkungan," jelas dia.
Deforestasi hutan dalam beberapa tahun terakhir di Kalbar mencapai 130.000 hektar pertahun. Sementara luas hutan di provinsi tersebut adalah 10 juta hektar.
Delegasi dari Universitas Colorado, Julie Teel mengatakan apa pun rumusan yang dihasilkan nantinya tentu dengan melibatkan pendapat masyarakat dan bermanfaat.
Semua provinsi dan negara bagian yang tergabung dalam GCF masih membuka jalan melaksanakan proyek REDD.
Provinsi Aceh, telah memulai beberapa hal dalam menjaga lingkungan, seperti adanya kebijakan "moratorium logging" dan langkah itu sangat membantu proyek REDD dalam implementasinya.
"Sesuatu hal penting adalah membangun kapasitas dan teknis, ada beberapa donor yang siap membantu beberapa provinsi yang punya komitmen soal hutan," kata Julie menyebutkan
Program REDD adalah diharapkan sebagai upaya mendorong pelibatan masyarakat sekitar hutan untuk menjaga hutan atau pengurangan emisi karbon bisa dilakukan, namun penduduk di kawasan hutan tidak hanya menjadi penonton dan bisa sejahtera. | Azhari
Suara lantang salah seorang aktivis lingkungan di Banda Aceh itu makin menambah riuh pertemuan "Governors Climate and Forest (GCF) Taskforce Meeting" di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh.
Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Mukim itu mengecam pertemuan GFC yang dinilai tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan.
Mukim adalah salah satu lembaga adat di Provinsi Aceh yang membawahi beberapa Gampong (desa). Setiap mukim dipimpin seorang pemangku adat yang diberinama Kepala Mukim.
Di dalam ruangan Hermes Palace Hotel nan nyaman, beberapa gubernur dan kepala negara bagian dari sejumlah negara sedang memang tengah melakukan pembicaraan proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD)
Namun, aktivis lingkungan di Aceh menilai implementasi proyek REDD telah membuat masyarakat sekitar hutan tercerabut hak dan kedaulatannya atas hutan mereka.
"REDD merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mempertahankan hak masyarakat atas hutan mereka," ujarnya.
Proyek REDD, menurut aktivis akan berdampak semakin merananya masyarakat di pinggir hutan. Bahkan mereka menuntut pembahasan dan proses membangun legitimasi "politik" dagang REDD dihentikan.
Mereka minta pemerintah mengembalikan kedaulatan mukim wilayah dan sumber daya alam (SDA) kepada masyarakat yang selama ini berada di sekitar hutan.
Para mahasiswa juga minta kejelasan tata batas wilayah, tata ruang, pengakuan hak masyarakat atas tanah, pengakuan mukim atas SDA dan harta mukim lainnya.
Menurut mereka, berbagai persoalan sekitar hutan diharapkan dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan di tingkat mukim di wilayah tersebut.
GCF Taskforce Meeting-3 berlangsung pada 18-22 Mei 2010, diikuti sepuluh delegasi anggota tetap dari luar negeri dan Indonesia.
Anggota GCF antara lain dari Indonesia (Provinsi Aceh, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua Barat). Kemudian, Brazil (Mato Grosso, Amazonias, Para, Amappa, dan Acre), dan Amerika Serikat (Illinois, Wisconsin, and California).
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengajak para peserta pertemuan untuk menghasilkan rumusan bermanfaat bagi masyarakat lokal sekitar hutan.
"Kami berharap pertemuan GCF Taksforce Meeting 2010 yang ketiga ini dapat menghasilkan keputusan signifikan untuk mempercepat realisasi konsep REDD yang dapat diimplementasikan di lapangan," katanya. Jangan sampai setelah pertemuan selesai tidak memberikan apa-apa bagi masyarakat dan daerah.
Pertemuan GCF 2010 dimaksudkan untuk merumuskan standar dan kriteria pengurangan perubahan iklim, pemanasan global, dan mencegah kerusakan hutan.
Upaya pelestarian hutan diharapkan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal terhadap hutan di sekitar mereka.
"Dalam rangka melindungi hutan, perwujudan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan dari pertemuan ini untuk merumuskan standar dan kriteria terhadap upaya pelestarian hutan tanpa mengabaikan hak masyarakat lokal," kata Irwandi Yusuf.
Perlu Sekber
Pemerintah Aceh perlu membentuk sekretariat bersama (sekber) dalam pengelolaan kawasan hutan yang dinilai masih luas dimiliki provinsi itu, kata pakar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), DR Ir Ricky Avenzora.
"Pembentukan sekber itu penting, sehingga masing-masing instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak jalan sendiri-sendiri dalam mengimplementasikan gagasan dan kegiatannya," katanya.
Menurut dia, potensi kawasan hutan yang masih dimiliki Aceh itu menjadi modal besar dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global dimasa mendatang.
Karena itu, menurut dia, yang perlu diperhatikan Pemerintah Aceh adalah kontinuitas pengelolaan kawasan hutan, skala kegiatan, peningkatan manajemen dan komitmen keterlibatan masyarakat dalam setiap program.
"Kesemuanya itu akan bisa berjalan dengan baik dan terukur melalui pembetukan sekber, karena program lingkungan selama ini hampir semua instansi (sektor) berbicara dan itu berjalan sendiri-sendiri," katanya menambahkan.
Selain itu, katanya dengan keterbatasan anggaran dan sumber daya yang ada di masing-masing instansi, maka program pelestarian kawasan hutan bisa berjalan tidak optimal.
Melalui sekber itu sebagai upaya bersama-sama dalam bentuk kompromistis dan juga proses pembagian tugas dalam pelestarian kawasan hutan yang bisa dilakukan pemerintah, elemen masyarakat dan LSM.
"Tak kalah penting juga adalah semua pihak agar membangun komuniksi untuk membuat "master plan" dan pembagian tugas, selain menjaga agar keterlibatan masyarakat tidak hilang dalam upaya pelestarian kawasan hutan," tambah dosen Fakultas Kehutanan IPB.
Ricky Avenzora mengingatkan Pemerintah Aceh tidak terbuai dengan janji-janji pihak asing terkait dengan perdagangan karbon.
"Artinya, pemerintah sudah memiliki semangat tinggi untuk menjadikan kawasan hutan sebagai penghasil industri karbon. Tapi, juga tidak terbuai dengan janji-janji dari pihak asing," katanya.
Pemerintah Aceh juga diminta melibatkan dan memberi wewenang kepada Mukim untuk menjaga kawasan hutan, terutama sekitar hutan lindung yang ada di provinsi tersebut.
Ketua Serikat Mukim Aceh Jaya, Anwar Muhammad, mengatakan, pelibatan masyarakat sekitar hutan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian lingkungan hutan di provinsi itu.
Masyarakat seharusnya juga diberi hak pengelolaan hutan adat yang berada di luar hutan lindung. Masalah teknis seperti berapa luas wilayah hutannya dapat didiskusikan bersama, tambah dia.
Anwar mengatakan, hak pengelolaan hutan itu harus dimasukkan dalam aturan tataruang dan mendapat pengakuan pemerintah, sehingga ada legitimasi yang jelas bagi masyarakat.
Selain itu, pemerintah Mukim juga harus diberi hak dan kewenangan dalam menjaga hutan sekitar tempat tinggalnya serta menegakkan hukum adat kawasan hutan.
"Kami sepakat memperjuangkan hutan menjadi hak masyarakat adat karena itu merupakan warisan yang kita jaga dan lestarikan bersama untuk anak cucu di masa mendatang," ujarnya.
Staf Flora Fauna International (FFI), Saifuddin menyatakan terus mendorong pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan di provinsi tersebut.
"Kemukiman sebagai lembaga masyarakat dan hukum adat punya hak mengelola hutan. Tapi yang diperlukan adalah memperjuangkan hutan rakyat dan hak-hak masyarakat sekitar hutan," katanya.
Hutan Kalbar
Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cornelis minta peran masyarakat dunia untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan hutan di wilayahnya.
"Jika ingin emisi karbon diselamatkan secara total maka perlu peran masyarakat dunia untuk menyelamatkan hutan di wilayah kami," katanya.
Cornelis menyebutkan hutan Kalbar yang rusak kini mencapai 130.398 hektare. Jika tak segera diselamatkan maka hutan Kalbar diperkirakan habis pada 2050.
"Di wilayah kami, sekitar 50 persen dari lokasi hutan tersebut ditempati oleh para penduduk," katanya.
Kalimantan Timur (Kaltim) diharapkan siap masuk dalam proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation-REDD) pada 2015.
"Tahun 2015 Kaltim diharapkan telah siap dalam proyek REDD, sehingga kawasan hutan di daerah kami tidak hanya berfungsi ekonomi tetapi juga ekologi," kata staf ahli Gubernur Kaltim, Dody Ruhyat.
Ia menjelaskan kebakaran hutan menjadi momok dalam upaya pelestarian lingkungan di wilayahnya, meski kasus tersebut mulai berkurang di Kaltim.
Sebagai upaya menjaga hutan dan persiapan menghadapi proyek REDD, ia menyebutkan pemerintah telah meluncurkan program "Kaltim Hijau". Kaltim memiliki hutan seluas sekitar 19 juta hektare, dan 1,3 juta hektare di antaranya mengalami kritis dan perlu ditangani segara.
"Sepanjang 2003-2010, laju deforestasi di Kaltim mencapai 200 ribu pertahun. Menjual karbon dalam program REDD, Pemerintah Kaltim perlu perjuangan tinggi dalam mengajak masyarakat ikut menjaga hutannya," katanya.
Sementara itu, staf ahli bagian lingkungan Gubernur Kalbar, Josep Lejo mengatakan ada beberapa tantangan dalam menjaga lingkungan di wilayahnya, antara lain pembukaan lahan perkebunan termasuk salah satu aspek deforestasi hutan.
Masalah kebakaran hutan, pembalakan liar dan beberapa aspek lainnya. Menjaga lingkungan untuk menunggu realisasi proyek REDD, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan seperti mengajak masyarakat menjaga hutan di wilayahnya.
"GCF ini adalah bagian dari komitmen kita dalam menjaga lingkungan," jelas dia.
Deforestasi hutan dalam beberapa tahun terakhir di Kalbar mencapai 130.000 hektar pertahun. Sementara luas hutan di provinsi tersebut adalah 10 juta hektar.
Delegasi dari Universitas Colorado, Julie Teel mengatakan apa pun rumusan yang dihasilkan nantinya tentu dengan melibatkan pendapat masyarakat dan bermanfaat.
Semua provinsi dan negara bagian yang tergabung dalam GCF masih membuka jalan melaksanakan proyek REDD.
Provinsi Aceh, telah memulai beberapa hal dalam menjaga lingkungan, seperti adanya kebijakan "moratorium logging" dan langkah itu sangat membantu proyek REDD dalam implementasinya.
"Sesuatu hal penting adalah membangun kapasitas dan teknis, ada beberapa donor yang siap membantu beberapa provinsi yang punya komitmen soal hutan," kata Julie menyebutkan
Program REDD adalah diharapkan sebagai upaya mendorong pelibatan masyarakat sekitar hutan untuk menjaga hutan atau pengurangan emisi karbon bisa dilakukan, namun penduduk di kawasan hutan tidak hanya menjadi penonton dan bisa sejahtera. | Azhari