Medan, Metro Sampah
Di tengah pergulatan dan semangat "berapi-api" Kota Medan menjadi Kota Metropolitan, sejumlah persoalan klasik namun cukup krusial, satu persatu mencoba ditangani.
Persoalan pasar yang selama ini terkenal semrawut dan dianggap menjadi biang kemacetan, telah mulai dibenahi. Beberapa pasar sudah mulai ditata sehingga tak merugikan bagi pihak lain terutama pengguna jalan. Berbagai selokan dan drainase yang selama ini selalu sumbat, bau dan dianggap sebagai salah satu penyebab banjir, juga sudah mulai dibersihkan. Di beberapa titik, parit-parit dan selokan sudah bersih dan air di dalamnya mengalir dengan lancar. Namun diantara berbagai pembenahan yang dilakukan Pemko Medan tersebut, ada satu persoalan lain yang hingga kini belum mendapat sentuhan apapun. Persoalan sampah yang sudah menjadi persoalan sejak puluhan tahun yang lalu, hingga kini belum bisa diatasi Pemko Medan.
Sekilas, persoalan sampah adalah persoalan yang sederhana, simpel bahkan terkesan sepele. Sepertinya, Pemko Medan tak perlu sampai merumuskan sebuah kebijakan yang "super wah" untuk menangani hasil "buangan" manusia itu. Rasanya, cukup masyarakat yang turun tangan untuk mengatasi persoalan yang sejatinya adalah persoalan "pribadi" tersebut. Terlihat jelas memang, dalam berbagai terobosan yang dicanangkan Pemko Medan belakangan ini, persoalan sampah masih terkesan dilupakan. Dikeluhkan mungkin iya, tapi ditangani secara serius, rasanya belum. Pemko sepertinya lebih tertarik melakukan terobosan yang kelihatannya cukup signifikan dalam merubah wajah kota Medan. Sedangkan sampah yang kelihatannya sepele belum mendapat perhatian sepenuhnya.
Sampah Bertebaran
Padahal fakta mencengangkan soal "buangan" manusia tersebut, tersaji setiap harinya. Produksi sampah di Kota Medan baik oleh masyarakat maupun oleh pihak-pihak lainnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Kepala BLH Kota Medan, Purnama Dewi mengatakan, volume sampah yang diproduksi masyarakat di Kota Medan meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2009, volume sampah yang diproduksi warga Medan masih sekitar 1.300 ton per hari. Namun kini sudah mencapai 1.500 ton per hari. Sayangnya, dari jumlah itu hanya sekitar 75 persen yang dibawa ke tempat pembuangan akhir. 25 persen lagi kemana? Anda bisa tebak sendiri. Itulah yang setiap hari kita lihat di setiap sudut Kota Medan. Sampah bertebaran dimana-mana. Hampir tidak ada ruang, dimana sampah tidak menghiasi sudut tersebut.
Sampah menjadi pemandangan yang tak asing lagi di kota ketiga terbesar di Indonesia ini. Bukan hanya bertebaran, sampah juga menumpuk dimana-mana. Pasar tradisional yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan mayoritas masyarakat, tak luput dari tumpukan sampah.
Tak hanya itu, enam sungai yang melintasi Kota Medan, pun tak luput menjadi tempat pembuangan sampah. Sungai di Kota Medan telah beralih fungsi menjadi saluran limbah dan tempat sampah. Jangan heran jika setiap hujan, sungai meluap seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Dampak lainnya, tingkat pencemaran di sekitar laut Belawan dari tahun ke tahun kian mencemaskan disebabkan gencarnya pembuangan sampah dan limbah ke daerah aliran sungai di Kota Medan.
Sayangnya, meski demikian mencemaskan, penanganan yang dilakukan masih menggunakan cara-cara klasik dan konvensional. Penanganan sampah masih mengandalkan pengangkutan ke Tempat pembuangan Akhir (TPA). Belum ada terobosan apapun yang bisa dilakukan Pemko Medan dalam menangani persoalan yang cukup pelik ini. Produksi sampah yang meningkat signifikan setiap tahunnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan armada pengangkut sampah dan jumlah petugas. Praksis, sampah yang bertebaran semakin banyak setiap harinya.
Di sisi lain masyarakatpun belum memiliki kesadaran yang tinggi dalam membuang sampah. Masih banyak warga Medan yang suka membuang sampah sembarangan. Jalanan, selokan dan sungai adalah tempat yang paling disukai sebagai tempat pembuangan sampah. Meski ancaman banjir setiap hujan selalu ada, namun kesadaran ke arah sana masih sangat minim.
Selain membuat sampah tak tertangani seluruhnya, penanganan sampah dengan cara konvensional ini pun menyisakan sejumlah persoalan lainnya. Jika tidak ada pengolahan, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi dua TPA yaitu Namo Bintang dan Terjun yang menjadi andalan Kota Medan selama ini kemungkinan besar akan penuh. Saat ini saja daya tampung kedua TPA tersebut hanya tinggal 10 persen lagi. Bisa dipastikan, penuhnya dua TPA tersebut hanya tinggal hitungan hari saja. Kelak, hal ini akan menjadi persoalan besar karena Pemko Medan pasti akan mengalami kesulitan menemukan TPA yang baru. Bisa jadi konflik yang terjadi antara Pemprov DKI dengan Pemkot Bekasi gara-gara TPA, mungkin juga akan terjadi di Medan. Mungkin antara Pemko Medan dengan Pemkab Deli Serdang, atau dengan Pemkab Langkat.
Partisipasi Masyarakat
Sejauh ini, pihak Pemko Medan beralasan tidak adanya dana untuk mengelola sampah yang telah menggunung tersebut. Plt Kadis Kebersihan Kota Medan, Sulaiman Harahap, mengatakan bahwa Pemko Medan tidak memiliki dana untuk mengolah sampah tersebut menjadi sumber energi. Menurut perhitungan Pemko, dana yang dibutuhkan untuk mengolah sampah menjadi sumber energi minimal sebesar Rp. 50 miliar. Padahal energi yang dihasilkan dari pengolahan sampah tersebut, tidak menghasilkan keuntungan sebesar dana yang dianggarkan.
Disinilah kekeliruan para pengelola Kota Medan tersebut. Pengelolaan sampah selalu diidentikkan dengan sebuah terobosan yang spektakuler, sehingga persoalan dana akan selalu dikambinghitamkan. Sesat pikir seperti ini seharusnya mulai diretas pemko Medan. Pengelolaan sampah tidak melulu harus dengan program besar seperti yang disebutkan Plt. Kadis Kesehatan tersebut.
Jika memang mau, pengolahan sampah bisa dilakukan dengan sederhana mulai dari hulu hingga hilir. Tak perlu harus spektakuler, pengolahan sampah bisa dilakukan mulai dari rumah tangga hingga TPA. Sampah bisa diolah dengan dua strategi, sampah organik dijadikan kompos, sedangkan anorganik dijual kembali sebagai barang loak. Warga harus didorong agar tak hanya tahu membuang sampah, tetapi harus tahu mengolah sampah. Slogan "jangan buang sampah sembarangan" harus diubah menjadi "mari mengolah sampah". Selain mengurai persoalan sampah yang bertebaran dan menggunung, pengelolaan ini juga bernilai ekonomis.
Memang butuh waktu dan butuh kerja keras untuk menyadarkan dan menggerakkan masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan sampah dari membuang sembarangan menjadi bernilai ekonomis. Sayangnya, Pemko Medan belum memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakannya. Pemko masih terlalu mengandalkan program-program yang berbasis proyek, sedangkan program berbasis masyarakat terkesan dikesampingkan. Kebiasaan para pengambil kebijakan yang sifatnya instan dan parsial sangat jelas terasa dalam pengolahan sampah ala Pemko tersebut. Pemko masih terlalu mengandalkan diri sendiri sehingga mengabaikan partisipasi masyarakat. Entahlah, mungkin Pemko ingin menjadikan Kota Medan selain sebagai Metropolitan, juga sebagai Metrosampah. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, aktif di Perkamen
Oleh : Harmada Sibuea