Header Ads

Mencari Figur Kepala Daerah yang Ideal

Seorang sahabat menyodorkan pernyataan yang cukup menggelitik. Kata dia, hampir di semua aspek kehidupan dewasa ini, nilai atau kadar kompetensi diabaikan keberadaannya. Dia dengan semangat menerangkan, di dunia penerbangan, keahlian pilot menerbangkan pesawat tidak bisa ditawar.

Dengan demikian, hanya ada pilot kompeten dan tidak kompeten. Pilot tidak kompeten tidak boleh terbang karena membahayakan penumpang. Pesawat bisa jatuh.

Aspek kompetensi menjadi mutlak. Apakah di luar dunia penerbangan, orang tidak kompeten dapat bertahan? Seharusnya tidak, namun karena risiko tidak sedahsyat pilot, maka agak sulit menentukan.

Bagaimana kalau seorang kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota dengan wakil-wakilnya) tidak memiliki kompetensi? Hal ini sangat mungkin, mengingat pemilihan langsung hanya menghasilkan pemimpin yang legitimate dan akseptabel. Padahal seorang kepala daerah, diperlukan prasyarat tidak hanya legitimate dan akseptabel, tetapi diperlukan juga kredibel, kapabel dan kompeten. Pada posisi inilah, diyakini akan menghasilkan nilai akuntabilitas yang tinggi.

Pertanyaan yang keluar, apakah pilkada mampu menghasilkan kepala daerah yang ideal?

Pengertian ideal di sini adalah, menghasilkan kepala daerah dengan kriteria mendapat legitimasi (sah secara politik), akseptabel (bisa diterima oleh sebagian besar khalayak), kredibel (terpercaya), kapabel (berkapasitas), dan kompeten (memiliki karakteristik yang muncul dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan perilaku).

Membangun Kredibilitas
Kekhawatiran munculnya kepala daerah yang tidak kredibel, kapabel dan kompeten, sangat beralasan mengingat hasil pilkada berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 setelah era reformasi cukup mencengangkan.

Fakta empirik di lapangan menunjukkan bahwa banyak kepala daerah pasca reformasi yang kurang legitimate dan akseptabel (karena dipilih oleh anggota DPRD, bukan secara langsung seperti pada UU No 32/2004).

Adalah suatu kemajuan yang sangat berarti bagi proses demokratisasi dengan adanya pemilihan langsung yang mampu menghasilkan kepala daerah yang legitimate dan akseptabel. Tetapi aspek kredibilitas, kapabilitas dan kompetensi tidak secara otomatis muncul.

Maka dari itu, jangan heran apabila banyak kita jumpai kepala daerah yang terpilih datang dari orang kebanyakan. Artinya, tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk mengelola sebuah organisasi publik setingkat pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Hal ini sangat mungkin, mengingat pascareformasi menghasilkan semangat yang berlebihan untuk mengganti hal-hal yang selama ini dirasa sebagai sesuatu yang tidak mungkin.

Pada era sebelumnya (Orde Baru), untuk menjadi gubernur, apabila dari TNI/Polri, maka rata-rata berpangkat mayor jenderal, dan dari PNS setingkat eselon I.

Sedangkan untuk bupati/wali kota, dari TNI/Polri, paling tidak berpangkat kolonel atau letnan kolonel senior, dan dari PNS eselon II. Kepala daerah dari kalangan swasta atau orang kebanyakan, hampir mustahil.

Akibat dari ini semua, kepala daerah pada era Orde Baru, rata-rata telah memenuhi aspek kapasitas dan kompetensi. Mereka sangat cepat beradaptasi dan mampu membaca situasi untuk mengelola manajemen pemerintahan, karena pengalaman dan referensi sebelumnya telah teruji.

Maka dari itu, marilah kepada semua pihak, terutama bagi mereka yang memiliki niat untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai kepala daerah, harus mau dan mampu membangun kredibilitas, kapabilitas, dan kompetensi. Kepada para pemilih, jangan terkecoh kenikmatan sesaat, namun menyesal berkepanjangan apabila memperoleh kepala daerah yang tidak kredibel, kapabel dan kompeten.

Para pemilih sudah semakin pintar dan cerdas, namun masih diperlukan kalkulasi politik, setelah calon terpilih, apakah ia menepati semua janji yang telah disampaikan? Pada konteks ini, teori pilihan publik (public choice) pantas dipertimbangkan.

Kendati sampai sekarang teori tersebut masih terus berkembang dan menjadi bahan perdebatan dengan melibatkan banyak ahli, seperti Patrick Dunieavy, Gordon Tullock dan lainnya, kiranya tepat untuk menganalisis apabila kandidat kepala daerah ternyata tidak memenuhi janjinya, tidak kredibel, kapabel dan kompeten.

Teori pilihan publik adalah teori ekonomi yang tidak diterapkan pada wilayah ekonomi, tetapi lebih ke wilayah politik. Maka dari itu, karena lebih cenderung ke persoalan ekonomi, perspektif public choice menjadi pilihan yang tepat untuk mengurai persoalan tersebut.
Artinya, pemilih sudah memperhitungkan secara ekonomi apa yang akan diperoleh karena sudah memberi kontribusi suara pada pilkada.

Aspek legitimasi dan akseptabel dengan sendirinya bisa diperoleh dari hasil pemilihan secara langsung. Namun, tiga aspek lainnya, kredibel, kapabel, dan kompeten, harus terbangun dan dibangun oleh kandidat itu sendiri. Sudah barang tentu sang kandidat harus mempertimbangkan faktor internal (kandidat) dan eksternal (pemilih) untuk bisa memperoleh aspek kredibel, kapabel, dan kompeten.

Mengawal Pilkada
Tulisan ini mengajak kepada semua pihak untuk ikut mencermati, memberi kontribusi pendapat, mengritisi dan mengawal proses pilkada langsung yang pada akhirnya mampu menghasilkan kepala daerah yang legitimate, akseptabel, kredibel, kapabel, dan kompeten. Bagaimana caranya? Siapa yang menjadi aktornya? Seberapa besar risiko yang ditanggung publik (pemilih), manakala ternyata hanya menghasilkan kepala daerah yang legitimate dan akseptabel? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Kepala daerah harus memiliki aspek kapabilitas yang cukup, karena harus mengelola manajemen pemerintahan yang mengandung problematika sedemikian kompleks.

Untuk itu, kepada para kandidat dan yang nantinya benar-benar menjadi kepala daerah, harus mau membangun capacity building (pengembangan kapasitas). Konsep pengembangan kapasitas, sebagaimana tulisan Drs Teguh Yuwono MPol Admin dan Dra Hartuti Purnaweni MPA (2003), adalah pengembangan kapasitas yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Akhir daripada eksistensi kepala daerah yang diidam-idamkan adalah memiliki kompetensi yang tinggi sebagai "nakhoda", memimpin organisasi publik setingkat pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Untuk itu, kiranya tidak berlebihan manakala pemilih mengharapkan kepada kepala daerah mampu mencerminkan sifat kepemimpinan yang berkualitas.

Kepala daerah dituntut untuk berani mengambil keputusan, walaupun berisiko dan kebijakannya tidak populis. Di sinilah kepala daerah diuji. Mampu atau tidak? Kapabel atau tidak? Kompeten atau tidak? Kepala daerah dituntut untuk mampu menggerakkan (to drive, to encourage) terhadap jajaran birokrasinya, yang pada gilirannya mampu juga menggerakkan masyarakatnya.

Kepala daerah dituntut mampu menetapkan arah kebijakan, dan melakukan pengawasan pada jajaran birokrasinya. Ada aspek yang tidak kalah penting, kepala daerah dituntut mampu memberdayakan (to empower, to educate) terhadap birokrasinya dan masyarakatnya. (Koceb)
Diberdayakan oleh Blogger.