Header Ads

Kabar Buruk REDD di Copenhagen

Sepulang demonstrasi panjang dan melelahkan bersama masyarakat sipil dunia dan warga negara Denmark yang peduli pada COP 15 Copenhagen pada 12 Desember 2009, beredar teks non-paper hasil kerja sub-kontak REDD. Teks REDD versi 12 Desember ini hanya mencantumkan safeguard dalam pembukaan. Diantaranya, tentang pengakuan hak masyarakat adat sebagaimana tertera dalam UNDRIP dan keterlibatan mereka secara penuh dalam proses REDD. Kedua, safeguard disebutkan untuk melindungi konversi hutan alam.

Ada beberapa hal yang penting dicatat dari dokumen ini.

Pertama, kedua safeguard hanya tercantum dalam pembukaan dan tidak lagi disebutkan di bagian implementasi. Menurut konsep hukum internasional, pembukaan hanya merupakan konsep atau asas dan bukan pengaturan. Implementasi merupakan aturan tindak lanjut yang lebih nyata dan signifikan untuk menentukan implementasi REDD di level nasional. Karena itu, tanpa pencantuman keduanya dalam implementasi menunjukan keberadaan safeguard berbasis hak dan pengamanan hutan alam sangatlah lemah.


Kedua, pada kalimat pembuka sebelum masuk ke poin-poin safeguard, teks REDD versi 12 Desember hanya mencantumkan kata “promote” bagi pihak-pihak yang akan mengerjakan REDD. Teks ini tidak berbeda dengan versi Barcelona – hasil Pertemuan perundingan Antara sebelum COP 15, yang sepertinya menempatkan “safeguard” sebagai usulan yang bersifat mengajak dan tak memiliki kewajiban apapun. Bentuk norma seperti ini bukan imperatif tapi delegatif. Sehingga, kewenangan untuk menjalankan “safeguard” tergantung pada pihak yang akan mengerjakan REDD.

Ketiga, Teks tersebut juga banyak mengacu pada hukum dan kedaulatan nasional. Menurut sejumlah delegasi, “safeguard” memang tidak boleh mengganggu hukum nasional yang berkonsekuensi berkurangnya derajat kedaulatan nasional untuk mengatur dan mengurus masalah yang bersifat ke dalam (dalam negeri). Karena itu, berdasar usulan tersebut, semua safeguard akan berlaku jika sesuai hukum nasional. Ada conditionality clause disini, dimana pelaksanaan “safeguard” tergantung pada substansi hukum nasional.

Keempat, semua teks yang berhubungan dengan REDD menggunakan kata “should” bagi para pihak dan tidak menggunakan “shall”. Dalam terminologi hukum, menurut sejumlah pengacara hukum Internasional, “should” berarti sesuatu yang dianjurkan, sifatnya persuasif dan sukarela. Jika tidak dipenuhi maka tak ada hukuman apapun. Sebaliknya “shall” mempunyai konsekuensi hukum yang bersifat mengikat dan wajib dilakukan. Terminologi “shall” misalnya nampak dalam Konvesi Hak Sipil dan Politik. Contoh article 2 ayat 3 menyebutkan:

Each State Party to the present Covenant undertakes:
(a) To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;

Artinya, menurut Konvensi SIPOL, para pihak yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah pemulihan terhadap orang-orang yang kebebasannya terbelenggu atau dilanggar meski pelanggaran tersebut dilakukan karena perintah jabatan.

Dalam kaitannya dengan skema REDD, tanpa mencantumkan “shall”, semua skema yang tercantum dalam teks ini bersifat persuasif, tidak memberikan kewajiban yang imperatif.

Bagaimana nasib REDD ?

Melihat norma-norma yang tekstual sejauh ini dan pandangan negara pihak, terutama negara berkembang mengenai REDD, nampaknya COP 15 tidak menghasilkan REDD yang mandatory tapi voluntary. Tarik ulur pencantuman target penghentian deforestasi pun berlangsung a lot. Bahkan penentuan angka penghentian deforestasi tahun 2030 pun masih diperdebatkan sehingga dicantumkan dalam tanda kurung (bracket) karena banyak negara, termasuk Indonesia merasa tidak sanggup dengan target tersebut. BAPAK PRESIDEN belum punya komitmen dengan tahun, tapi hanya berkomitmen dengan pengurangan emisi 26%, begitu ujar salah seorang delegasi Indonesia, yang tak mau disebut namanya.

Mengerikan, untuk sesuatu yang bersifat sukarela, negara-negara pemilik hutan masih enggan menaruh komitmennya di atas meja. Apalagi jika skema ini bersifat obligasi, mungkin tidak akan ada pada teks REDD.

Semua perdebatan hingga kini menunjukan semua skema dan target tergantung kondisi masa depan. Entah situasi ekonomi negara maju maupun substansi hukum di negara berkembang. Karena itu, target dan komitmen bersifat sukarela. Penghentian deforestasi bersifat sukarela, menghindari leakage (kebocoran) dan menjamin proyek jangka panjang (permanence) juga tergantung keadaan tertentu. Demikian halnya dengan pelaksanaan safeguard dan keberlanjutan dukungan finansial juga bersifat sukarela.

Sungguh Ironis. Jika hanya untuk sesuatu yang sifatnya persuasif, mengapa perdebatan para pihak demikian seru seolah-olah isu ini penting. Dugaan bahwa isu ini hanya pengalihan saja dari upaya menekan komitmen pengurangan emisi negara maju boleh jadi benar.

Mungkin, suatu ketika manakala negara pemilik hutan, terutama Indonesia, berkomitmen membuat skema yang bersifat wajib, ketika sebagian besar wilayah hutannya sudah menjadi gurun. Meski demikian, mungkin gurun bisa menjadi usulan proyek penanaman kembali yang bisa dipakai mendapatkan uang. Lika-liku perdebatan di REDD, seolah “batu pun bisa menjadi roti”, segala sesuatu mungkin dalam negosiasi ini.

Bagaimana keselamatan warga sekitar hutan? Tanya saja pada rumput yang bergoyang.

Penulis : aktivis lingkungan bekerja Huma dan CSF.
Bernadinus Steni

Diberdayakan oleh Blogger.